Bahasa Kafir Dalam Konteks Keindonesiaan


Rosi Islamiyati

Maraknya paham takfiri baik yang mengguncang media sosial maupun praktek keagamaan secara langsung cukup meresahkan banyak pihak. Padahal ajaran Islam yang dikenal dengan slogan rahmatan lil alamin (rahmat bagi semua) merupakan agama yang fleksibel, mengajarkan kehalusan, kini malah menjadi momok bersama. Banyak kalangan Islam yang kehilangan esensi kehalusannya dengan memandang bahwa orang dengan latar belakang berbeda agama disebut sebagai kafir. Ending-nya, agama Islam yang terkenal dengan kedamaiannya malah menjadi virus yang lebih menyeramkan di tengah masyarakat bahkan sampai terjadi aksi teror yang mengatasnamakan agama. Ironis memang, bahkan para pemuka agama yaitu ustadz-ustadz sebagai penyalur epistemologi keagamaan juga terlibat di dalamnya.
Dari problematika di atas, perlu kiranya kita meninjau kembali apakah kata kafir itu pantas diucapkan untuk memanggil kalangan non-muslim di negara Indonesia ini bahkan untuk menyebut orang Islam? Penulis hendak melihatnya dari sudut pandang filsafat. Sudut pandang filsafat menjadi wawasan baru pembacaan agama sekaligus ladang untuk memperkenalkan filsafat ke ranah publik. Filsafat bahasa Wittgenstein agaknya cukup untuk melihat realitas bahasa kafir. Apakah bahasa kafir untuk menunjuk non-muslim sudah sesuai dengan kaidah-kaidah bahasa yang ada?
Kata kafir berasal dari kata dalam bahasa Arab kaffara yaitu menutup. Kata ini digunakan untuk menunjuk seseorang yang tidak beriman kepada Allah. Dalam sejarahnya, kata kafir mulai menjadi paham saling mengkafirkan atau yang disebut sebagai “takfiri” selepas wafatnya Nabi Muhammad SAW. Di masa khalifah Abu Bakar, istilah kafir digunakan untuk menunjuk orang-orang yang enggan membayar zakat dan golongan yang mengaku sebagai nabi palsu. Sementara itu, di masa khalifah Umar, kata ini dibantah karena Rasulullah tidak pernah melakukan tindakan tersebut. Selanjutnya muncul kembali di masa Ali bin Abi Thalib. Paham ini digaungkan untuk menunjuk satu golongan (khawarij) yang keluar dari barisan Ali. Seiring dengan itu, kata kafir menjadi suatu kata yang berkonotasi negatif, termasuk konotasi orang yang berhak masuk surga dan justifikasi seseorang yang
akan masuk neraka.
Sedangkan di Indonesia kata kafir mulai digunakan pada masa penjajahan. Di masa Belanda, kata kafir digunakan untuk menyebutkan golongan non-pribumi (penduduk Belanda) yang menguasai Indonesia. Sesuai dengan fatwa Syekh Abdul Samad Al-Palimbani pada abad ke 18, kata ini digunakan bukan semata-mata berkaitan dengan isu keagamaan, melainkan untuk membedakan mana penjajah dan mana pribumi. “kebetulan” saat itu negara yang menjajah paling lama adalah Belanda dan setelahnya Jepang. Mayoritas agama dari negara asal mereka bukanlah agama Islam. Saya tidak bisa memastikan apabila yang menjajah adalah negara Arab yang mayoritas Islam. Apakah kata kafir ini akan tetap terucap dari mulut-mulut mereka yang sering menggunakan kata kafir untuk non-muslim.
Penyebutan para penjajah sebagai kafir ini dimaksudkan agar pribumi memiliki semangat bersama mengusir mereka dari bumi Indonesia. Jihad fi sabilillah kemudian diartikan sebagai agenda pengusiran para penjajah. Jika ditilik dari skenario politik, penyebutan kata kafir hanya digunakan untuk manipulasi politik di masanya. Jika pentransmisikan pemahaman kafir ini tetap berlangsung, maka seorang muslim tidak dengan mudahnya menyebut yang beragama selain Islam sebagai kafir. Akan tetapi hal ini tidak kita sadari bersama, pentransmisian epistem kafir yang bermakna “skenario politik” malah mandeg. Kemandegan ini kian terasa setelah kemerdekaan Indonesia saat organisasi keagamaan kian gencar dalam pentransmisian pengetahuan tentang kafir ini. Efeknya, hari ini seseorang tidak lagi menyebut kafir sebagai penjajah seperti era pra-kemerdekaan. Terjadi pergeseran makna kafir dari “penjajah” menjadi orang non-muslim meskipun mereka bukan penjajah.
Mata rantai situasi demikian harus segera diputus. Dalam buku filsafat bahasa yang kedua, Wittgenstein tengah berbicara tentang “the language games” atau permainan bahasa. Baginya, bahasa seperti sebuah permainan. Setiap permainan memiliki aturan sendiri dalam bermain. Aturan permainan catur tidak bisa disamakan dengan aturan permainan sepak bola ataupun bola kasti. Begitupun dengan sebuah kata. Ia memiliki tata aturannya sendiri. Pernyataan yang terkenal dari Wittgenstein ialah for a large class of cases – thought not for all – in which we employ the word ‘meaning’ it can be defined thus; the meaning of a word is its use in the language (Wittgenstein: 1953; 19). Sebuah kata penggunaannya tergantung kalimat. Dan sebuah kalimat penggunaannya tergantung pada konteksnya. If we had to name
anything which is the life of the sign, we should have to say that it was its use. (Wittgenstein; 1958 BB 4). Lalu bagaimana kata kafir dalam konteks kehidupan beragama di Indonesia menjadi mungkin untuk diucapkan?
Jika melihat penggunaan bahasa sesuai dengan konteksnya, maka di negara yang multikultural dan multireligi seperti Indonesia yang mengakui enam agama besar yaitu Islam, Kristen, Hindu, Budha, Katholik dan Kong Hu-Chu dan dengan berbagai budaya aliran kepercayaan, kita tidak bisa mengucapkan kata kafir itu untuk menyebut seseorang yang berada di luar agama Islam sebagai Kafir. Andaikan kondisinya tidak demikian atau Indonesia hanya mengakui satu agama resmi saja yakni Islam, maka konteks penggunaan kata kafir untuk menyebut non-muslim menjadi kewajaran. Tata permainan bahasa antara satu negara dengan negara lain berbeda. Jika konteks negara Islam lainnya misalnya Arab Saudi, dengan konteks negaranya yang menetapkan suatu sistem pemerintahan yakni khilafah, dengan sistem tata aturan Hukum Islam, maka sesuai dengan konteks penggunaan bahasanya, wajar apabila mereka mengatakan orang lain di luar agamanya sebagai kafir. Mungkin lebih dari itu, kata kafir dapat menjadi kata positifapabila digunakan untuk menunjuk orang yang berada di luar agamanya.
Dari paparan di atas, sudah sepantasnya sebagai masyarakat yang cerdas dalam menggunakan media sosial, kita harus lebih kritis dan menggunakan daya pikir kita untuk memilih dan mengambil konten-konten dalam media sosial yang mendidik dan berdaya rasional yang tinggi. Apalagi dengan kondisi masyarakat hari ini, dengan penggunaan media sosial yang sedang gencar-gencarnya. Taqlid buta tidak menggambarkan bentuk masyarakat beragama yang moderat. Selanjutnya, kita sudah sepantasnya peka dan hati-hati dalam menggunakan bahasa kafir. Belajar filsafat bahasa secara mendalam adalah salah satu cara untuk memberi nutrisi pada otak sehingga dapat membantu kita dalam mempertimbangkan kontekstualitas sebuah bahasa dan tidak melulu tekstual. Jika hal ini dapat diterapkan, maka keberagamaan kita dalam konteks kehidupan berbangsa dan bernegara Indonesia ini akan semakin damai, seseorang bisa tidur nyenyak tanpa memikirkan justifikasi kafir dariseseorang terhadap dirinya. Akhirnya, timbul sikap terbuka dan saling menghargai satu dengan yang lain.


#kemenag #moderasiberagama #uinsunankalijaga #PKDP2024

Komentar

  1. Yang punya Otoritas dalam menafsirkan kata kafir itu siapa sih?? Sementra kata kafir sendiri asalnya bahasa arab,, bukannya dalam bahasa arab ada alat sendiri untuk memaknai kata kafir yang tidak terlepas dari teks, konteks dan kontekstualisasi.. Seperti ilmu nahwu shorof balaghoh mantiq dlsb.

    BalasHapus

Posting Komentar